Rabu, 23 Juni 2010

Dulu Sering Pingsan, Kini Jadi Inspirator Orang Lain


Aryanti Rosihan Yacub boleh berbangga. Berkat kegigihan dan ketekunannya, anaknya yang menderita down syndrome kini menjadi remaja berprestasi. Organisasi yang dia dirikan untuk mewadahi anak-anak down syndrome pun terus berkembang.

Minggu siang, 20 Juni, suasana di hal Plasa Senayan tampak meriah. Tiga puluhan anak berseragam biru merah berdiri di panggung, memainkan alat musik angklung. Beberapa lagu mereka mainkan. Dari Keroncong Kemayoran hingga lagu pop Nuansa Bening yang dipopulerkan kembali oleh penyanyi muda Vidi Aldiano.

Tepuk tangan ratusan penonton menyemangati penampilan anak-anak itu. Penonton terkagum-kagum karena permainan musiknya terdengar apik dan kompak. Padahal, yang memainkan anak-anak down syndrome, atau tunagrahita, atau biasa disebut keterbelakangan mental.

Di sisi panggung, seorang perempuan yang sejak awal tampak sibuk, mendapat ucapan selamat dari para penonton atas penampilan anak-anak itu. Dia adalah Aryanti Rosihan Yacub, ketua Ikatan Sindroma Down Indonesia (ISDI), yayasan yang memayungi anak-anak penderita down syndrome.

"Saya benar-benar terharu dan bangga melihat penampilan anak-anak tadi," ujar Aryanti dengan wajah berseri saat disapa penulis.

Dia terharu dan bangga karena keterlibatannya dalam ISDI cukup membawa manfaat. Anak-anak down syndrome yang semula "tidak bisa apa-apa" kini punya aktivitas yang merangsang kreativitas.
Tetapi, perjuangan Aryanti mendirikan ISDI penuh cobaan. Dia harus jatuh bangun untuk menguatkan diri sebelum akhirnya eksis seperti sekarang.

Aryanti lalu menceritakan sejarah berdirinya ISDI. Ingatannya melayang pada 25 Februari 1990. Saat itu dia melahirkan putra ketiganya, Michael Rosihan Yacub. "Saat itu saya berusia 36 tahun. Ketika lahir, Michael seperti anak normal, tidak ada tanda-tanda khusus yang mengkhawatirkan. Dia mungil dan lucu," ujar perempuan 56 tahun itu lantas tersenyum.

Namun, menginjak usia 1 tahun, Michael mulai menunjukkan gejala aneh. "Kalau merangkak, Michael seperti ngesot. Kata teman saya yang tahu brain gym, anak yang normal tidak seperti itu. Dia bilang, mungkin ada kelainan dalam diri Michael," katanya.

Untuk memastikan, Aryanti memeriksakan Michael ke dokter. "Saat hasil tes menyatakan Michael positif menderita down syndrome, saya langsung stres, kalut, bingung. Saya juga menjadi sering pingsan tiba-tiba," ujarnya.

Down syndrome adalah kelainan kromosom yang terjadi pada anak sehingga memiliki kelemahan dalam kecerdasan. Ciri yang biasa terlihat adalah wajah yang disebut "mongoloid". Selain itu, anak-anak down syndrome memiliki otot-otot tubuh yang lemah.

Setelah mendapati kenyataan itu, hari-hari Aryanti lebih banyak dilalui untuk merawat Michael. "Saya bersyukur, keluarga bisa memahami kondisi yang terjadi. Orang-orang juga memberikan nasihat bahwa Michael adalah anugerah Allah," katanya.

Lambat laun mental Aryanti makin siap menghadapi cobaan itu. Dia juga berpikir bahwa yang membutuhkan bantuan adalah Michael, bukan dirinya yang sesungguhnya tidak apa-apa. "Dari situlah akhirnya saya bisa mulai menerima kenyataan dengan sepenuh hati," urainya.

Aryanti kemudian memasukkan Michael ke Sekolah Luar Biasa (SLB) C Tuna Grahita di Kemayoran, Jakarta. Dari sekolah itulah kemudian muncul ide untuk mendirikan sebuah perkumpulan bagi anak-anak penderita down syndrome. Tujuannya, menampung dan memberikan bekal hidup bagi anak-anak itu setelah lulus SLB. Akhirnya, pada 21 April 1999, terbentuklah ISDI.

Hingga kini, tercatat ada 250-an anak down syndrome yang terdaftar sebagai anggota ISDI. "Terbanyak dari Jakarta. Kota-kota lain juga ada. Bahkan, ada yang dari Papua," sebutnya.

Menurut Aryanti, ISDI diarahkan untuk menjadi wadah bagi para orang tua yang memiliki anak down syndrome untuk berbagi cerita, berbagi pengalaman, dan saling menguatkan. Sebab, banyak orang tua yang bingung memperlakukan anak-anaknya yang mengalami kelainan itu.

"Apalagi, saat itu informasi mengenai down syndrome juga masih minim. Orang tua menjadi bingung dan takut. Akibatnya, anak-anak down syndrome lebih banyak terisolasi karena sering diejek," kenangnya.

Karena itulah, ISDI kemudian diniatkan untuk menjadi wadah bagi para orang tua dan anak-anak down syndrome untuk menemukan komunitas berbagi dan bercerita. Bahkan, sejak Oktober 2009, ISDI memiliki Center of Hope di kawasan Sunter, Jakarta Utara.

"Di Center of Hope, anak-anak bisa saling berinteraksi. Kami mengajarkan berbagai keterampilan hidup, mulai yang simpel seperti bagaimana ke kamar mandi, bagaimana membeli barang kebutuhan sehari-hari, hingga keterampilan khusus seperti membuat kue, menggambar, olahraga, dan bermain musik," ceritanya.

Aryanti mengatakan, dengan IQ yang rata-rata 35, anak-anak down syndrome memang membutuhkan waktu lebih lama untuk belajar. Misalnya, untuk bisa bermain angklung, mereka memerlukan waktu lebih dari 3 tahun. Meski begitu, pencapaian itu merupakan prestasi yang menggembirakan.

Di kalangan komunitas orang tua yang memiliki anak down syndrome, Aryanti kini banyak memberikan inspirasi. Itu tak lain karena kegigihannya merawat Michael yang kini berusia 20 tahun. Berkat ketekunannya itu, Michael tumbuh menjadi remaja berprestasi.

Pada 2001–2003, Michael merebut medali emas pada lomba lari 100 meter dalam Pekan Olahraga Penyandang Cacat Daerah (porcada) Tingkat DKI. Pada 2003, Michael mengikuti Special Olympics World Summer Games XI di Dublin, Irlandia. Hasilnya, dia meraih medali emas pada lomba lari 50 meter.

Pada 2005, Michael mendapat medali emas di berbagai kompetisi renang. Dia juga beberapa kali mengikuti kejuaraan golf. Dan, pada 2006, Michael merebut posisi lima besar kompetisi golf yang diadakan Down Syndrome Association Singapura.

Yang terbaru, awal 2010, Michael mendapat penghargaan dari Museum Rekor Dunia Indonesia (Muri) sebagai pegolf penyandang down syndrome satu-satunya di Asia. "Saya sangat bangga dengan putra saya itu," komentar Aryanti.

Minggu lalu Michael ikut tampil dalam pentas angklung di Plasa Senayan. Dia tampak ceria dan terus bergerak ke sana kemari. Tapi, begitu ditanya bagaimana kabarnya, Michael menjawab dengan kalimat terputus-putus. "Baik, baik," jawabnya sambil terus tersenyum.

Michael tampak tambah bersemangat saat ditanya tentang rencana keikutsertaannya dalam pekan olahraga nasional (pornas) khusus pada akhir Juni nanti. "Ya, nanti ikut renang. Saya bisa renang (gaya) bebas, punggung, katak," katanya terputus-putus.

Salah seorang yang terinspirasi dengan ketekunan Aryanti adalah Nashita Nio. Ibu yang akrab disapa Bu Wawa itu juga memiliki anak down syndrome. "Anak saya kini berusia 21 tahun. Namanya Eko. Dia anak pertama saya," ujar Humas ISDI itu.

Wawa mengakui, sejak kecil dirinya lebih banyak menjaga Eko di rumah. Padahal, seharusnya sejak dini anak down syndrome harus mulai distimulasi, dilatih secara khusus. Sebab, semakin dini diajari semakin bagus perkembangan jiwanya.

"Itulah kesalahan saya. Dulu saya tidak tahu. Kini dengan aktif di ISDI saya terus bisa berbagi pengalaman. Saya berharap, kesalahan saya tidak dilakukan orang tua yang lain," tuturnya.

Dengan berbagai pelatihan yang dilakukan, Wawa dengan bangga menyatakan bahwa anaknya kini sudah terampil memainkan dram. Bahkan, Eko bisa memainkan keyboard dan menghafal 40 lagu. "Hal-hal seperti itu membuat takjub para orang tua," ujarnya.

Karena itu, dia mengajak orang tua yang memiliki anak down syndrome untuk tidak menyerah. "Silakan bergabung di sini (ISDI). Kita bisa saling berbagi pengalaman dan saling membantu," tandas Wawa. (*)