Selasa, 07 Desember 2010

Eniya Listiani, Peraih Habibie Award Termuda


Sepanjang sejarah pemberian Habibie Award sejak 1999, wanita ini adalah penerima termuda penghargaan bergengsi itu. Dia adalah Dr-Eng Eniya Listiani Dewi. Hasil karyanya pun tergolong langka, yakni tentang fuel cell (sel bahan bakar) berbasis hidrogen untuk sumber energi baru ramah lingkungan.

DI Puri Ratna, Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta, Selasa 30 November, Eniya tak henti menebar senyum. Sejumlah koleganya memberikan selamat. Para kerabat juga memintanya berfoto bersama. Pose dengan mantan Presiden Habibie dan Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Marzan A Iskandar, melengkapi kegembiraannya sore itu.

Eniya memang patut berbangga. Ibu kelahiran Magelang, 14 Juni 1974 itu, baru saja menerima anugerah Habibie Award 2010 untuk bidang Ilmu Rekayasa. Itu sekaligus menjadikannya sebagai peraih Habibie Award termuda, sejak anugerah tahunan itu digelar kali pertama 11 tahun lalu.

"Ini menggembirakan sekali. Saya tak menyangka, apalagi karena penghargaan ini dulunya banyak diberikan kepada profesor-profesor," kata Eniya.

Awal riset Eniya dimulai dengan "ketidaksengajaan" eksperimen yang akhirnya malah menemukan katalis baru untuk sel bahan bakar. "Kalau sedang eksperimen, saya suka tinggal waktu makan siang. Saya pikir tidak masalah. Ketika saya melihat hasil eksperimen, setelah saya tinggal, kok jadinya berbeda. Ternyata perbedaan itu malah menjadi inovasi," kata istri Wahyu Widada itu.

Katalis baru temuan Eniya telah membuat terobosan baru zinc-air fuel cell (ZAFC). Yakni, suatu generator penghasil listrik dengan bahan bakar logam dan oksigen. Hasil risetnya dipublikasikan di delapan jurnal internasional dalam waktu 3 tahun. Temuannya lantas diakui dunia. Eniya mendapat penghargaan Mizuno Award dan Kounkenkai Awards dari Waseda University dan Polymer Society Japan pada 2003.

Teknologi sel bahan bakar merupakan sumber energi alternatif penghasil listrik ramah lingkungan. Caranya, dengan mereaksikan gas hidrogen dengan oksigen secara elektrokimia. "Hasilnya adalah listrik, panas, dan air murni. Tanpa suara, tanpa emisi, seperti layaknya batere atau aki," kata Ibu dari Ibrahim Muhammad, Nashita Saaliha, dan Nashira Saaliha itu. Fuel cell memang tidak meninggalkan emisi apapun. Hasil buangnya hanyalah air murni.

Prinsip fuel cell mirip batere atau aki. Tapi kalau batere dan aki bisa "habis", fuel cell tidak akan habis asal diisi bahan bakar. Bahan bakar itu diisi dengan hidrogen, alkohol (metanol, etanol), serta hidrokarbon lainnnya.

Karya terbaru Eniya adalah ThamriON, yang baru saja mendapatkan penghargaan Inovasi Paten dari Ditjen HKI 2010. ThamriON merupakan membran sel bahan bakar dari bahan plastik yang direaksikan dengan asam sulfat. Karena telah direaksikan, plastik bisa menghantarkan listrik.

Nama paten ThamriON sendiri punya sejarah yang unik. "Saya bekerja di Jalan MH Thamrin (Kantor BPPT), jadi nama itu saya ambil. Kalau ON sendiri berasal dari kata ion, karena plastiknya bisa menghasilkan ion," kenangnya.

Eniya mengembangkan sel bahan bakar dengan 80 persen material lokal membuat biayanya lebih murah. Upaya Eniya ini mendapatkan anugerah PII-Engineering Award pada 2006. Salah satu pengembangan sel bahan bakarnya dibuat di BPPT dalam berbagai ukuran, mulai 5 hingga 1.000 watt.

Dengan proses manufaktur secara mandiri, sel bahan bakar itu bisa menyalakan perangkat elektronik seperti televisi, laptop, lampu, radio, dan sebagainya. Ada pula yang dikembangkan untuk sepeda motor fuel cell berkapasitas 500 watt. Untuk lebih menghemat biaya dalam energi terbarukan, Eniya juga mengembangkan gas hidrogen dari limbah biomassa.

Eniya memimpikan setiap rumah bisa memiliki energi mandiri dari fuel cell. Selain lebih ramah lingkungan karena menggunakan energi terbarukan, listrik yang dihasilkan juga lebih stabil. "Tidak akan ada lagi cerita pemadaman listrik," kata Eniya.

Namun Eniya mengakui, mengembangkan energi terbarukan bukan persoalan gampang. Apalagi selama ini memang acap terjadi kesenjangan antara temuan teknologi dengan produksi massal oleh perusahaan. "Ya, selama ini memang masih ada gap," kata Eniya.

Apalagi, imbuhnya, penggunaan energi seperti minyak bumi dan batubara masih mendominasi. Padahal, di negara-negara seperti Jepang dan di kawasan Eropa, teknologi fuel cell ini terus dikembangkan. Di Jepang, "kota Hidrogen" telah lama dirintis di Fukuoka.

Meski demikian, teknologi fuel cell bukan berarti tanpa penerapan terkini. Eniya mengatakan, saat ini sejumlah menara telekomunikasi (BTS) sudah menggunakan teknologi fuel cell. Ini karena, BTS harus menggunakan listrik berdaya DC (arus searah).

"Kalau dari listrik PLN kan itu AC (arus dua arah), jadi harus digunakan inverter yang harganya malah lebih mahal," kata Eniya. Ia menambahkan, setidaknya teknologi fuel cell bisa digunakan sebagai back up energi konvensional.

Lantas, mengapa tertarik mengembangkan fuel cell? Eniya mengungkapkan, sejak duduk di bangku SMA, dirinya sudah tertarik menggeluti hal terkait pelestarian lingkungan. "Saya suka kegiatan daur ulang. Membuat kompos dari sampah misalnya," kata lulusan SMAN 1 Magelang (1992) itu.

Minat terhadap fuel cell tumbuh saat dia kuliah program sarjana di Waseda University, Jepang. Ia mendapatkan bea siswa program sarjana Science and Technology Advance Industrial Development (STAID) Kementerian Negara Riset dan Teknologi. Di era BJ Habibie masih menjadi Menristek, bea siswa tersebut sangat bergengsi dan menjadi incaran banyak siswa SMA jurusan ilmu-ilmu eksakta kala itu.

Gelar S1 diraih pada 1998, dan melanjutkan Master pada 2000 dengan beasiswa Iwaki Glass Industry. Selama program doktor, Eniya mendapatkan fellowship sebagai Special Researcher of Young Scientist for the Promotion of Science dari Japan Science Technology. "Itu fellowship yang terunggul. Dengan bimbingan profesor saya, saya makin tertarik mengembangkan fuel cell," kata Eniya. (*)