Senin, 08 Juni 2009

Belajar Mengkritik dan Dikritik

Persoalan ini merupakan persolana sehari-hari yang sudah biasa terjadi, namun alangkah baiknya jika kita menelaah lebih dalam tentang persoalan ini.

Assalamualaikum wr.wb.

Akhir-akhir ini kita sering membaca di media elektronik betapa banyak opini dan berbagai macam tulisan yang berseliweran bagaikan burung di angkasa. Namun kadang opini tersebut memicu pertikaian dan permusuhan yang kemudian merugikan umat..

Sebagai salah satu contoh, saat ini kita mengenal kiprah salah satu partai Islam yang berpenampilan berbeda dengan yang lainnya, lebih mencolok, lebih agresif dan lebih banyak bermanuver. Namun aktivitas ini bagi sebagian orang dianggap negatif, ambisi kekuasaan, oportunis, dan bahkan inkonsisten.

Kritikan mulai bermunculan di mana-mana, terutama di kalangan umat Islam sendiri, yang sangat berharap akan eksistensi umat islam di tengah-tengah kekuasaan yang semakin mengkhawatirkan. Tentu saja kritikan tersebut akan sangat berarti untuk partai tersebut dalam memperbaiki langkah-langkah berikutnya. Kritikan akan memberikan manfaat apabila keluar dari hati yang lapang, tak ada rasa dendam, tak ada rasa kecewa, yang ada adalah rasa cinta dan sayang, rasa ukhuwwah dan persatuan. Kritikan kadang keras, sebagaimana kerasnya Umar bin Khotob, kadang lembut seperti lembutnya abu Bakar Shiddiq, tetapi keduanya tak pernah menaruh dendam, tetap berada dalam satu naungan komunitas, yaitu komunitas pengganti generasi manusia, pengganti peradaban yang telah rusak ribuan tahun.

Namun akhir-akhir ini kadang orang tak mampu membedakan antara kritikan dan celaan. Celaan adalah sebuah ungkapan merendahkan lawan bicara karena ada sesuatu yang tidak disukai, bisa dikarenakan benci, kecewa atau karena merasa dirinya lebih baik dari orang lain.

Sikap gemar mencela ini akan hinggap kepada siapa saja, entah preman, orang biasa, ilmuwan bahkan ulama. Karakter mencela bisa saja akan melekat pada diri seseorang, syaithon lebih halus langkahnya, dalam menggelincirkan manusia dari jalan fithrahnya. Sehingga tak heran, banyak yang berpenampilan seperti orang baik/sholeh tetapi ternyata bermulut tajam dan mudah menyakiti saudaranya.

Islam mengajarkan bagaimana berdebat, mengkritik dan meluruskan manusia. Meluruskan bukanlah menghakimi tetapi menjelaskan,memaparkan menerangkan langsung pada obyek permasalahannya. Tidak ada unsur kebencian yang biasanya lahir karena kompetisi, rivalitas dan pertentangan.

Menghakimi seseorang bukanlah cara berkomunikasi yang baik diantara sesama manusia, menghakimi itu adalah lebih cenderung merupakan tugas sebuah institusi bukan pribadi. Oleh karena itu ada baiknya kita belajar bagaimana menyusun sebuah kalimat, kalimat haq yang mampu membawa kepada perubahan, bukan membawa kepada kehancuran dan kebinasaan, perpecahan dan permusuhan.

Menghadapi Kritikan dan Celaan.

Ketika hidup di tengah-tengah manusia, apalagi sebagai pemimpin sebuah organisasi atau partai, maka kritikan merupakan bagian dari hidupnya, dan sungguh dipertanyakan kepemimpinan sesorang apabila tak ada kritikan yang dialamatkan padanya. Oleh karena itu kewajiban pemimpin adalah mendengar, baik kritikan yang keras maupun kritikan yang lembut. Bersikap lapang dada dan penuh perhatian terhadap orang-orang yang mengkritik, karena kritikan yang berbobot merupakan data bagi dia dalam pengambilan keputusan.

Namun ada kalanya pemimpin mendapat celaan yang biasanya datang dari orang yang memiliki penyakit di hatinya. Tentu saja celaan ini biasanya cenderung menghakimi, menjustifikasi sesuatu, bahkan obyak permasalahnnya kadang samar. Sikap terhadap hal ini yang paling baik adalah sabar.

Islam tidak pernah mengajarkan membalas kedzaliman sesorang dengan kedzaliman yang baru. Dan itulah realita yang harus dipahami oleh seorang pemimpin. Kita lihat bagaimana Rasulululloh SAW ketika dakwah di Thoif, beliau dilempari batu sampai giginya berdarah darah, dan lari dari kejaran anak kecil, Ini merupakan sebuah penghinaan yang luar biasa kepada pemimpin umat saat itu. Namun beliau bisa memahaminya, begitulah kondisi umat, pada saat itu.

Beliau tidak menerima tawaran malaikat untuk membinasakan ummat tersebut, beliau berkata: mereka kaum yang belum mengetahui. Beliau masih tetap berharap terhadap anak cucunya, sebuah optimisme besar yang lahir dari rasa cinta. Oleh karena itu jika seorang pemimpin mendapat celaan, maka sikap yang paling baik adalah bersabar, dan berharap generasi berikutnyalah yang siap menanggung beban tanggung jawab perbaikan umat. Semoga Indonesia menjadi negeri yang baldatun thoyibatun warobbun ghofuur.

Dari eramuslim.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar