Intan Herwindra Millyaningrum S Pi - suaraPembaca
Jakarta - Bulan Juni atau Juli 2010 sekarang ini ramai dibicarakan khususnya bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) seluruh Indonesia. Sebuah berkah yang diberikan pemerintah untuk memberi stimulus kepada para PNS yang mempunyai putera-puteri sehingga dapat meringankan biaya pendidikan bagi mereka.
Kebijakan ini tentunya sangat baik dan bermanfaat. Terutama bagi PNS golongan kecil. Namun, pendidikan merupakan investasi jangka panjang yang memerlukan dorongan finansial yang cukup lama. Tidak hanya dorongan sesaat sehingga masalah pendidikan bisa terselesaikan.
Terus bagaimana dengan kondisi rakyat kurang mampu di luar PNS? Padahal mereka juga mempunyai hak stimulus bagi pendidikan putera-puteri mereka.
Tentunya hak untuk mengenyam pendidikan adalah hak fundamental yang dimiliki oleh semua warga negara. Di tengah biaya pendidikan yang semakin mahal dari manakah rakyat kecil bisa mendapat biaya untuk pendidikan bagi anak-anak mereka? Sebuah pertanyaan yang harus dijawab oleh pemerintah dan sebuah tantangan untuk mengangkat harkat martabat bangsa melalui pendidikan.
Tidak bisa dipungkiri bahwa pendidikan adalah penopang kemajuan bangsa. Berbekal pendidikan telah menjadikan Singapura dan Malaysia beberapa langkah lebih maju dari Indonesia. Pada 1960 - 1970-an pendidikan di Indonesia memiliki level yang sama dengan negara tetangga seperti Malaysia, Singapura, dan Filipina. Namun, saat ini, kemajuan bangsa Indonesia lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara tersebut.
Di tahun itu, banyak warga negara mereka berbondong-bondong belajar di UI, IPB, ITB, dan universitas lainnya di Indonesia. Mereka mengalokasikan anggaran cukup besar melalui investasi pendidikan.
Dari berbagai data perbandingan antar negara dalam hal anggaran pendidikan yang diterbitkan UNESCO dan Bank Dunia Negara Indonesia dalam hal pembiayaan pendidikan memang terendah. Pada tahun 1992, menurut UNESCO, pada saat Pemerintah India menanggung pembiayaan pendidikan 89 persen dari keperluan, Indonesia hanya menyediakan 62,8 persen dari keperluan dana bagi penyelenggaraan pendidikan nasionalnya.
Zaman sudah berubah tentunya. Kita sebagai bangsa besar harus terus berbenah untuk mengejar ketertinggalan yang ada. Kita patut bersyukur permohonan yang diajukan Ketua Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PB PGRI) Prof Dr Mohammad Surya yang meminta MK untuk mengabulkan pengujian UU APBN 2008 karena untuk anggaran pendidikan hanya sekitar 15,6 persen dari APBN. Sehingga, bertentangan UUD 1945 dikabulkan.
Majelis hakim MK mendorong agar semua daerah memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen dalam APBD-nya, dan mencegah pengurangan terhadap makna Indonesia sebagai negara hukum. MK mengingatkan pembentuk UU untuk selambat-lambatnya dalam UU APBN Tahun Anggaran 2009 harus telah memenuhi kewajiban konstitusionalnya menyediakan anggaran sekurang-kurangnya 20 persen untuk pendidikan
Sebuah momentum langka semenjak Indonesia merdeka. Memang pendidikan tidak hanya berpangku pada masalah dana. Tapi, sedikitnya dana adalah sebuah keniscayaan untuk memberikan yang terbaik bagi pendidikan. APBN 20% tentunya harus dimanfaatkan sepenuhnya untuk mendorong warga negara mengenyam pendidikan.
Melalui Departemen Pendidikan Nasional mulai mendorong semua lapisan warga negara mengenyam pendidikan di dalam maupun luar negeri. Tidak tanggung-tanggung. Sebuah ide dan gagasan cerdas diluncurkan dengan membiayai warga negara yang berprestasi dalam bidang apa pun untuk mengenyam pendidikan layak melalui beasiswa unggulan.
Bea siswa yang dirancang oleh Biro Perencanaan dan Kerja Sama Luar Negeri benar-benar sebuah terobosan yang tidak membedakan lapisan masyarakat. Kadang kita terpaku arti berprestasi hanya pada nilai akademik. Namun, bea siswa ini berwawasan lain.
Setiap warga negara yang berprestasi dalam bidang apa pun adalah manusia unggul yang layak dihargai oleh negaranya. Di musim sekolah dan kuliah saat ini sebagai warga negara yang bukan PNS kita patut bersyukur karena subsidi pemerintah diberikan dalam berbagai cara.
Bea siswa adalah investasi jangka panjang seperti yang telah dilakukan oleh negara-negara tetangga kita. Tentunya bukan sekedar memberikan sekali seperti gaji ke-13 dan langsung habis tapi mempunyai efek luar biasa bagi peradapan Indonesia.
Intan Herwindra Millyaningrum S Pi
Penulis adalah alumni Universitas Diponegoro
Jln Sujono 75 RT 2 RW 1 Sukorejo
Email: intan_herwindra@yahoo.com
HP: 085640543332
Senin, 05 Juli 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar